Harga daging sapi di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara
lain diduga karena ada permainan harga oleh kartel sapi. Kartel adalah menahan
pasokan daging sehingga mengakibatkan kelangkaan pasokan di pasaran yang
memicu kenaikan harga. Akhirnya, pemerintah terpaksa membuka keran impor yang
menguntungkan importir daging.
Hal tersebut mengemuka dalam Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi
Peternakan Indonesia (FPPTPI) dan seminar nasional Peternakan se-Indonesia di
Hotel Bummiminang, Jumat (22/4). “Di Malaysia, harga daging Rp60 ribu per
Kg, separuh dari harga di sini yang mencapai Rp120 ribu per Kg. Kenapa
hal ini bisa terjadi kalau bukan ulah kartel,” ujar Rektor Universitas Andalas,
Tafdil Husni.
Ia menuturkan, tingginya harga daging sapi membuat masyarakat
menjerit, sementara peternak sapi juga tak menikmati manfaat dari kenaikan
harga yang tak biasa itu.
“Di sini berkumpul ilmuwan peternakan dari 80 perguruan tinggi
se-Indonesia. Saya rasa mereka bisa mencari solusi dari mahalnya harga daging
sapi dalam negeri saat ini,” harap Tafdil.
Dekan Fakultas Peternakan Unand, Jafrinur menuding
kebijakan pemerintah membatasi sapi impor Juli 2015 sebagai pemicu masih
tingginya harga daging sapi saat ini. “Dengan jumlah penduduk Indonesia
sekitar 250 juta jiwa, dan jumlah konsumsi 2,2 Kg per orang per tahun,
dibutuhkan setidaknya 550 juta Kg daging per tahun. Jumlah tersebut setara dengan
3 juta ekor sapi yang harus dipotong per tahun. Sementara itu, pada 2015,
Indonesia hanya bisa memotong 2,3 juta ekor sapi. Sisanya 700 ribu terpaksa
didatangkan dari Australia,” jelasnya.
Ia menyebutkan, Indonesia terpaksa mengimpor daging sapi
dari luar negeri karena kebutuhan permintaan daging sapi terus meningkat.
Ketika impor dibatasi, otomatis harga melonjak.
“Pasokan daging lokal belum dapat memenuhi semua permintaan
konsumen karena banyak berasal dari peternak rumah tangga sehingga tak semua
sapi siap potong,” tambahnya.
Untuk mengatasinya, Jafrinur menyarankan harus ada
pengaturan tataniaga peternakan sehingga tak terjadi kartel dan monopoli dalam
perdagangan sapi potong yang menyebabkan tingginya harga daging.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan Sumbar, Erinaldi
mengakui adanya kenaikan permintaan daging sapi Sumbar karena strukturnya
cocok dijadikan rendang yang sudah jadi makanan paling enak di dunia.
“Kebanyakan daging sapi tersebut sudah diolah dalam bentuk rendang dan banyak
dikirimkan ke luar Sumbar. Imbas rendang sekarang sudah jadi makanan kaliber
dunia,” ucapnya.
Ia juga tak menampik daging sapi impor sudah ada di Sumbar
karena kebutuhan permintaan sapi terus meningkat. Tapi, daging sapi impor
tersebut digunakan untuk olahan masakan barat sebab struktur daging impor
tersebut lunak dan tak cocok untuk olahan rendang karenanya lebih banyak
diolah untuk makanan barat.
Salah satu upaya mencukupi permintaan daging sapi, kata
Erinaldi, adalah penggemukan sapi. Selain itu, pihaknya bekerja sama dengan
investor menyalurkan 1.500 sapi kepada 127 peternak.
“Setiap peternak memeroleh 10 sapi per orang atau per
kelompok, dengan syarat setiap hari berat badan satu ekor sapi harus bertambah
satu Kg per hari. Program tersebut telah berjalan tiga tahun belakangan. Sapi
diasuransikan, jika hilang atau mati. Sementara keuntungannya 70 persen
untuk peternak dan 30 persen untuk investor,” jabarnya. (h/ita)
Jadi, menurut informasi yang saya
dapat diatas bahwa harga daging melonjak naik disebabkan adanya kartel daging yang bermain disini. Kartel merupakan istilah yang dikenal dalam bidang
ekonomi dan bidang hukum. Di bidang ekonomi, kartel menyatakan perilaku atau
praktik yang berhubungan dengan persaingan industri atau persaingan usaha. Di
bidang hukum, praktik tersebut dilarang secara hukum, karena dapat merugikan
kepentingan umum atau publik. Secara sederhana, kartel adalah bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang bertujuan
untuk mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk kepentingan
(keuntungan) mereka sendiri.
Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan,
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”.
Praktik kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan
yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku monopoli ataupun
bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar