Minggu, 26 Juni 2016

Benarkah Ada Kartel Yang Bermain Sehingga Menyebabkan Harga Daging Melonjak Naik?

Har­ga daging sapi di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara lain diduga karena ada permainan harga oleh kartel sapi. Kartel adalah menahan pasokan daging se­hing­ga mengakibatkan ke­lang­kaan pasokan di pasaran yang memicu kenaikan harga. Akhirnya, pemerintah ter­pak­sa membuka keran impor yang menguntungkan im­portir daging.
Hal tersebut mengemuka dalam Forum Pimpinan Pen­di­dikan Tinggi Peternakan Indonesia (FPPTPI) dan seminar nasional Peternakan se-Indonesia di Hotel Bum­mi­minang, Jumat (22/4). “Di Malaysia, harga da­ging Rp60 ribu per Kg, sepa­ruh dari harga di sini  yang mencapai Rp120 ribu per Kg. Kenapa hal ini bisa terjadi kalau bukan ulah kartel,” ujar Rektor Universitas Andalas, Tafdil Husni.
Ia menuturkan, tingginya har­ga daging sapi membuat ma­syarakat menjerit, se­men­ta­ra peternak sapi juga tak me­nikmati manfaat dari ke­nai­­kan harga yang tak biasa itu.
“Di sini berkumpul ilmu­wan peternakan dari 80 per­guruan tinggi se-Indonesia. Saya rasa mereka bisa men­cari solusi dari mahalnya harga daging sapi dalam nege­ri saat ini,” harap Tafdil.
Dekan Fakultas Peter­nakan Unand, Jafrinur menu­ding kebijakan pemerintah membatasi sapi impor Juli 2015 sebagai pemicu masih tingginya harga daging sapi saat ini. “Dengan jumlah pen­du­duk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, dan jumlah kon­sumsi 2,2 Kg per orang per tahun, dibutuhkan setidaknya 550 juta Kg daging per tahun. Jumlah tersebut setara de­ngan 3 juta ekor sapi yang harus dipotong per tahun. Sementara itu, pada 2015, Indonesia hanya bisa memo­tong 2,3 juta ekor sapi. Sisanya 700 ribu terpaksa didatang­kan dari Australia,” jelasnya.
Ia menyebutkan, Indo­nesia terpaksa mengimpor daging sapi dari luar negeri karena kebutuhan permin­taan daging sapi terus me­ning­kat. Ketika impor diba­tasi, otomatis harga melonjak.
“Pasokan daging lokal belum dapat memenuhi se­mua permintaan konsumen karena banyak berasal dari peternak rumah tangga se­hing­ga tak semua sapi siap potong,” tambahnya.
Untuk mengatasinya, Ja­fri­nur menyarankan harus ada pengaturan tataniaga peter­nakan sehingga tak terjadi kartel dan monopoli dalam perdagangan sapi potong yang menyebabkan tingginya harga daging.
Sementara itu, Kepala Di­nas Peternakan Sumbar, Eri­nal­di mengakui adanya ke­nai­kan permintaan daging sapi Sum­bar karena struk­turnya co­cok dijadikan ren­dang yang su­dah jadi maka­nan paling enak di dunia. “Kebanyakan da­ging sapi tersebut sudah di­olah dalam bentuk rendang dan banyak dikirimkan ke luar Sumbar. Imbas rendang se­karang su­dah jadi makanan kaliber dunia,” ucapnya.
Ia juga tak menampik daging sapi impor sudah ada di Sumbar karena kebutuhan permintaan sapi terus me­ningkat. Tapi, daging sapi impor tersebut digunakan untuk olahan masakan barat sebab struktur daging impor tersebut lunak dan tak cocok untuk olahan rendang kare­nanya lebih banyak diolah untuk makanan barat.
Salah satu upaya men­cu­kupi permintaan daging sa­pi, kata Erinaldi, adalah peng­gemukan sapi. Selain itu, pi­ha­knya bekerja sama de­ngan investor menyalurkan 1.500 sapi kepada 127 peter­nak.
“Setiap peternak meme­roleh 10 sapi per orang atau per kelompok, dengan syarat setiap hari berat badan satu ekor sapi harus bertambah satu Kg per hari. Program tersebut telah berjalan tiga tahun belakangan. Sapi diasu­ransikan, jika hilang atau mati. Sementara keuntu­ngan­nya 70 persen untuk peternak dan 30 persen untuk inves­tor,” jabarnya. (h/ita)

Jadi, menurut informasi yang saya dapat diatas bahwa harga daging melonjak naik disebabkan adanya kartel daging yang bermain disini. Kartel merupakan istilah yang dikenal dalam bidang ekonomi dan bidang hukum. Di bidang ekonomi, kartel menyatakan perilaku atau praktik yang berhubungan dengan persaingan industri atau persaingan usaha. Di bidang hukum, praktik tersebut dilarang secara hukum, karena dapat merugikan kepentingan umum atau publik. Secara sederhana, kartel adalah bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang bertujuan untuk mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk kepentingan (keuntungan) mereka sendiri.

Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, 
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

Praktik kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku monopoli ataupun bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar